Baru-baru ini saya diberi tugas yang cukup membingungkan oleh guru mata pelajaran kewirausahaan di sekolah.
Tugasnya sih tidak terlalu membingungkan. Kami hanya diperintahkan untuk membuat tape dari ketan hitam.
Sepertinya banyak juga terdapat tutorial pembuatannya di Google.
goo.gl/Sqbkkz |
Yang membuat saya bingung, kenapa anak-anak jurusan Multimedia diberi tugas seperti ini?
Bukankah tugas ini lebih cocok untuk diberikan pada anak-anak jurusan Jasa Boga?
Walau begitu, kami tetap menurut saja.
Kami tetap mengerjakan tugas, sesuai langkah-langkah pengerjaan yang diberikan oleh bapak guru.
Namun sayangnya, hasil tape kelompok saya benar-benar terasa asam walau memiliki aroma yang begitu menggoda.
Akibatnya, kami semua terkena remidial.
Namun pada artikel ini, saya tidak membahas tentang tape ketan ataupun curhatan tentang susah payah memenuhi nilai remidial :D
Ada beberapa keanehan dalam tugas ini, yang menginspirasi saya untuk menulis artikel.
Guru kewirausahaan di sekolah saya jarang menjejakkan kaki di ruang kelas.
Entah kemana ia pergi di saat jam mengajarnya.
Murid tak pernah protes mengenai itu. Bahkan mereka merasa sangat bahagia.
Yah, memang seperti itulah sifat alami pelajar.
Tapi sekalinya guru itu masuk ke kelas kami, tugas-tugas berat berdatangan ._.
Sementara ia sendiri tak pernah menunjukkan langkah-langkah pembuatannya secara langsung. Hanya teori belaka.
Tak hanya pada mata pelajaran kewirausahaan saja, ada beberapa guru di mata pelajaran lain yang juga suka memberi tugas-tugas tak masuk akal.
Satu pertanyaan yang menjadi suara hati para murid adalah...
'apakah guru tersebut mampu menyelesaikan tugas yang ia berikan sendiri pada muridnya?'
Disini saya tak bermaksud menuduh pihak tertentu, hanya ingin menyampaikan suara pelajar yang selama ini terpendam.
goo.gl/wcT74x |
Layaknya seorang guru bisa menjadi panutan para muridnya, menjadi penuntun bagi mereka yang kebingungan.
Sepertinya menteri pendidikan harus banyak melakukan pengkajian terhadap cara pengajaran para guru-guru yang masih aktif mengajar.
Karena tak hanya ada dua-tiga guru yang seperti ini. Ada cukup banyak di luar sana.
Saat siswanya bertanya ini-itu mengenai tugas yang diberikan sang guru, jawabannya hanya se-kenanya.
Atau dijawab dengan kalimat ampuh yang satu ini : 'Cari saja tutorialnya di Google'
Hingga ada teman saya yang berkata : 'Kita ini muridnya guru, atau muridnya Google?'
Suatu kalimat yang sekilas terdengar lucu, namun maknanya mengena sekali.
Jadi, kesalahan tak sepenuhnya terletak pada murid.
Ada baiknya para guru juga melakukan introspeksi pada diri sendiri.
Apakah ia sudah menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti? Apakah tugas yang diberikannya sesuai dengan kemampuan para murid?
Baiknya, UKG yang diselenggarakan harus dilaksanakan dengan tertib dan ketat.
Kalau muridnya tak boleh mencontek, berarti gurunya juga kan??
Uji kompetensi guru juga layaknya tak hanya dilakukan secara teori. Namun juga secara praktek, dan spontan.
Yang ada di angan-angan saya, ada beberapa orang dari kemdikbud yang menyamar sebagai orang biasa, atau datang secara mendadak pada sekolah yang akan di uji.
Lalu mereka mengamati kinerja guru-guru yang akan di uji selama beberapa hari, dan juga secara tersembunyi.
Jadi, kinerja guru akan lebih terlihat jelas dan alami.
Bila ada guru yang tidak kompeten, maka guru terkait harus mengikuti pelatihan.
Atau bila cara mengajarnya memang tak bisa diperbaiki dan melenceng jauh dari koridor kelayakkan, maka ia harus diberhentikan.
Dengan begitu, para anak-anak bangsa dapat menerima pelajaran yang sesuai dan maksimal.
Bangsa ini juga bisa menjadi bangsa yang cerdas, dan maju.
Saya tak sedikitpun bermaksud untuk menyalahkan atau menjelekkan satu instansi tertentu.
Karena artikel ini ditulis berdasar kenyataan yang ada di lapangan. Dengan harapan, pendidikan di Indonesia bisa semakin berkembang.
Maju Indonesiaku!
No comments:
Post a Comment